AJARAN IZEBEL
“Tetapi Aku mencela engkau, karena engkau membiarkan wanita Izebel, yang menyebut dirinya nabiah, mengajar dan menyesatkan hamba-hamba-Ku…”
(Wahyu 2:20)
Hari ini banyak orang mencari “guru rohani” atau “pembicara populer” bukan karena kebenarannya, tetapi karena kata-katanya enak didengar, menenangkan hati, dan memberi motivasi instan. Media sosial penuh dengan khotbah singkat atau quotes yang kelihatannya rohani, tetapi sering berpusat pada diri sendiri: “percaya dirimu, ikuti hatimu, Tuhan pasti setuju dengan apapun yang kamu lakukan.” Kata-kata ini terasa manis, tapi tidak selalu setia pada Firman Tuhan. Fenomena ini mirip dengan apa yang terjadi di jemaat Tiatira. Mereka membiarkan seorang “nabiah” yang disebut Izebel mengajar di tengah jemaat. Ia dianggap rohani, mungkin karismatik dan berpengaruh, tapi ajarannya menyesatkan umat Allah.
Yesus menegur jemaat Tiatira karena “membiarkan” (aphiēmi, artinya melepaskan, tidak menolak, membiarkan begitu saja) seorang wanita bernama “Izebel” mengajar. Nama ini kemungkinan bukan nama asli, tetapi simbolik. Dalam Perjanjian Lama, Izebel adalah istri raja Ahab (1 Raja-Raja 16:31–33) yang memperkenalkan penyembahan Baal di Israel, membunuh nabi-nabi Tuhan, dan menyesatkan bangsa lewat kuasa politik dan agama. Jadi, “Izebel” di Tiatira adalah simbol dari pemimpin perempuan yang berperan sama: memperkenalkan ajaran palsu yang menyesatkan jemaat.
Apa isi ajarannya? Dikatakan bahwa: ia “mengajar dan menyesatkan hamba-hamba-Ku supaya berbuat zinah dan makan persembahan berhala.” Ini berarti ajarannya membuat orang percaya menoleransi bahkan ikut dalam praktik tidak kudus yang sudah jelas dilarang oleh Firman. Seperti Izebel di Israel, nabiah palsu ini mengaburkan batas antara kesetiaan pada Allah dengan kompromi terhadap budaya penyembahan berhala setempat.
Yesus tidak hanya mencela “Izebel,” tapi juga jemaat yang membiarkannya. Jemaat Tiatira gagal menegakkan disiplin rohani. Mereka tahu ada pengajaran palsu, tapi memilih diam, mungkin karena tidak ingin konflik, atau takut kehilangan anggota yang mendukung Izebel. Di sinilah letak dosa mereka: toleransi terhadap ajaran yang jelas-jelas sesat. Yesus menyingkapkan bahwa ajaran palsu tidak selalu datang dari luar, tetapi bisa tumbuh dari dalam jemaat, lewat orang yang dianggap rohani. Bahayanya, karena ia “mengaku nabiah,” ajarannya terdengar sah. Inilah bentuk heresi yang paling berbahaya: memakai bahasa rohani, tetapi menjauhkan jemaat dari kesetiaan kepada Kristus.
Kalau jemaat Tiatira ditegur karena membiarkan nabiah palsu, kita juga perlu bertanya: apakah gereja kita, bahkan hidup pribadi kita, sedang membiarkan suara-suara palsu yang mengaburkan Injil? Maka yang perlu kita lakukan adalah: waspadai pengajaran yang hanya memuaskan telinga, kemudian kita perlu menguji setiap pengajaran dengan Firman Tuhan, jadilah gereja yang berani menegur, dan jangan menjadi pribadi yang kompromi.
Doa: “Ya Tuhan, tolong aku untuk tidak menoleransi ajaran yang tidak sesuai Firman-Mu. Beri aku hikmat untuk membedakan suara-Mu dari suara dunia, dan keberanian untuk menolak yang menyesatkan. Biarlah hidupku berpegang teguh hanya kepada Injil Kristus. Amin.” (mpn)
Bacaan Alkitab
Ester 7-10
