MENGENAL SANG PEMEGANG KUNCI
Inilah firman dari Yang Kudus, Yang Benar, yang memegang kunci Daud; apabila Ia membuka, tidak ada yang dapat menutup; apabila Ia menutup, tidak ada yang dapat membuka.
(Wahyu 3:7b)
Alkisah ada sebuah orkestra berbakat, di mana setiap pemainnya adalah musisi handal dengan keahlian yang luar biasa. Suatu hari mereka berkumpul untuk berlatih bersama. Namun, masalah segera muncul. “Menurutku, bagian ini harus dimainkan lebih cepat!” seru si pemain terompet, dan mulai memainkan bagiannya dengan tempo yang dinamis. “Tidak, tidak! Itu terlalu cepat! Biolaku akan tenggelam!” bantah pemain biola, yang kemudian memainkan melodi indahnya dengan tempo lambat nan sentimentil. Pemain cello tidak ingin ketinggalan, “Kalian berdua salah! Dengarkan nadanya, harusnya lebih dalam dan powerful seperti ini!” Ia menekan senar cellonya dengan penuh emosi. Apa yang terjadi? Bukannya simfoni yang indah, yang terdengar adalah kegaduhan. Setiap pemain berpegang pada interpretasinya sendiri-sendiri. Ruang latihan berubah menjadi pasar malam yang ribut. Setiap orang berbicara, tapi tidak ada yang mendengar. Setiap orang bermain, tapi tidak ada harmoni. Tiba-tiba pintu dibuka, dan sang konduktor memasuki ruangan. Dia hanya berdiri di depan mereka tanpa sepatah kata pun. Kehadirannya saja sudah membuat ruangan menjadi hening. Sebuah otoritas yang natural dan dihormati. Dia mengangkat tongkatnya. Semua mata tertuju padanya. Dengan gerakan tangan yang lembut namun penuh keyakinan, dia memberi isyarat. Tongkatnya adalah komando. Ekspresi wajahnya adalah penuntun dinamika. Sang konduktor adalah sang pemegang otoritas yang mengarahkan setiap pemusik menuju keharmonisan yang indah.
Sebelum memuji jemaat Filadelfia, Yesus memperkenalkan diri-Nya sebagai pemegang kunci otoritas dan kedaulatan. Dia yang membuka pintu, dan tidak ada yang dapat menutupnya. Kalimat pembuka ini begitu penting, karena ini adalah fondasi iman kita: pengenalan yang benar tentang siapa yang memegang otoritas, yaitu Kristus. Dalam dunia yang penuh dengan ‘suara’ dan informasi yang saling bertabrakan (hoaks, opini, ajaran, dlsb), kehadiran otoritas yang legitimate dan bijaksana bukanlah penghalang kebebasan, melainkan prasyarat untuk menciptakan keharmonisan serta melenyapkan kebingungan dan kebisingan. Otoritaslah yang menentukan mana yang benar dan seperti apa segala sesuatu ‘dimainkan’ dengan tepat. Pertanyaannya adalah, apakah kita mau senantiasa kembali dan mendengar Sang Otoritas itu? Atau kah kita cenderung mencari ‘suara’ yang kita suka? (dan)
Bacaan Alkitab
Ayub 33-34
