Luk 2:8, 13-14, 16-18
Di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam. Dan tiba- tiba tampaklah bersama-sama dengan malaikat itu sejumlah besar bala tentara sorga yang memuji Allah, katanya: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada- Nya.” Lalu mereka cepat-cepat berangkat dan menjumpai Maria dan Yusuf dan bayi itu, yang sedang berbaring di dalam palungan. Dan ketika mereka melihat-Nya, mereka memberitahukan apa yang telah dikatakan kepada mereka tentang Anak itu. Dan semua orang yang mendengarnya heran tentang apa yang dikatakan gembala-gembala itu kepada mereka.
Bacaan Alkitab
Zakharia 6-7
Amsal 30:24-28
Renungan
Menarik untuk kembai melihat ayat ini dari kacamata komunitas Yahudi kuno saat itu di mana kehidupan keagamaan seringkali membentuk identitas seseorang. Kita sudah sering melihat tentang orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang menjaga kehidupan keagamaan dengan sangat ketat dan dipandang sebagai seorang yang punya kedudukan dan pengaruh di masyarakat. Di sisi lain kita mengenal para kaum marginal yang disisihkan dari komunitas karena tidak sanggup menjalani kehidupan keagamaan yang cukup baik—dengan berbagai alasan, entah karena dosanya (pezina, pemungut cukai), atau kondisi fisiknya (orang yang sakit kusta, pendarahan) atau profesinya (gembala yang kotor dan bersinggungan dengan yang najis). Kehidupan agamawi yang legalis inilah yang akhirnya menimbulkan jurang yang begitu lebar antara kaum agamawi dengan kaum marginal—dan antara kaum agamawi dengan Allah! (lihat Luk 18:9-14).
Dengan menghampiri kaum marginal sebagai penerima pertama kabar kelahiran Mesias tentu Allah tidak sedang menunjukkan bahwa agama itu tidak penting—tapi Allah sedang menunjukkan bahwa legalisme itu keliru! Allah ingin mendobrak tatanan agamawi yang legalis dan menunjukkan Injil yang benar, yaitu bahwa keselamatan dan identitas di dalam Allah bukan diterima berdasarkan perbuatan dan ketaatan manusia, melainkan perkenanan dan anugerah Allah semata. Melalui lensa Injil yang benar, identitas diperbaharui. Tidak ada lagi kaum agamawi yang tinggi hari dan arogan, tidak ada lagi kaum marginal yang rendah diri dan minder, tapi semua adalah pendosa yang mendapatkan anugerah—yang selayaknya hidup dengan rendah hati satu sama lain, merobohkan tembok-tembok pemisah, saling merangkul dan memeluk. Damai dengan sesama didapatkan ketika kita sungguh-sungguh memahami apa artinya (setiap pribadi) diperdamaikan dengan Allah. -Dan