Maka datanglah seorang yang sakit kusta kepada-Nya, lalu sujud menyembah Dia dan berkata: “Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku.” Lalu Yesus mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata: “Aku mau, jadilah engkau tahir.” Seketika itu juga tahirlah orang itu dari pada kustanya. (Matius 8:2-3)
Dalam pelayanan-Nya di dunia tidak jarang Yesus menyembuhkan berbagai penyakit jasmani seeseorangdemam, kusta, buta, bisu, tuli, lumpuh, pendarahan, dll. Melihat bagian-bagian ini mungkin akan membuat kita mudah mengambil kesimpulan bahwa Dia memerhatikan kebutuhan jasmani seseorang. Tapi bagaimana di dalam bagian yang sama Dia juga memerhatikan kebutuhan emosi psikologis dari orang yang disembuhkannya secara jasmani? Kisah ini berbicara tentang seorang kusta, yang dalam konteks saat itu dianggap sebagai penyakit yang hina, bahkan dianggap sebagai kutukan Allah. Dan karena faktor penularannya, maka mereka yang menderita penyakit kusta ini harus diisolasi di luar pintu gerbang kota (ingat kisah menarik dari empat orang kusta dalam 2Raja-Raja 7, dan catatan tentang kumpulan orang kusta yang tinggal berdiri agak jauh dan berteriak untuk mendapat perhatian dan kesembuhan dari Yesus dalam Lukas 17:11-3). Secara sosial mereka diasingkan dan dijauhi orang. Secara rohani mereka dianggap najis dan berdosa. Padahal tentu tidak seorang pun yang menginginkan jenis penyakit tertentuapalagi kusta. Maka beban emosional dan psikologis itu sangat terasamalu, kesepian, kecewa, rendah diri, hopeless. Dan Yesus mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu. Bukankah Dia bisa menyembuhkan dari jarak jauh? Bukankah Dia bisa menyembuhkan hanya dengan berkata-kata? Mengapa harus mengulurkan tangan-Nya, dan menjamah seorang yang mungkin telah bertahun-tahun dijauhi dan tidak pernah dijamah siapa pun? Yesus paham kebutuhannya akan kesembuhan jasmani, tapi Dia juga melihat kebutuhannya akan pemulihan emosi, kebutuhan psikologinya, dan Dia pulihkan itu. Dengan menjamahnya, Yesus seakan mengatakan engkau diterima, engkau dikasihi, engkau layak, engkau bukan orang yang menjijikkan sekalipun setiap hari orang mengatakannya begituengkau berharga, engkau mulia, engkau bernilai. Yesus memulihkan kepercayaan dirinya. Yesus membuatnya mampu mengangkat wajahnya kembali. Perhatian akan kebutuhan emosi psikologi ini juga yang Allah tuntukkan kepada Elia dalam keputusasaannya (1Raj 19). Peka kah kita juga akan kebutuhan ini dalam diri orang-orang di sekitar kita? -Dan
Bacaan Alkitab
Kejadian 39–40
Matius 20
Mazmur 18:20-51
Amsal 3:33-35