Hari raya Pondok Daun haruslah kaurayakan tujuh hari lamanya, apabila engkau selesai mengumpulkan hasil tempat pengirikanmu dan tempat pemerasanmu. ⁴Haruslah engkau bersukaria pada hari rayamu itu, engkau ini dan anakmu laki-laki serta anakmu perempuan, hambamu laki-laki dan hambamu perempuan, dan orang Lewi, orang asing, anak yatim dan janda yang di dalam tempatmu. ⁵Tujuh hari lamanya harus engkau mengadakan perayaan bagi TUHAN, Allahmu, di tempat yang akan dipilih TUHAN; sebab TUHAN, Allahmu, akan memberkati engkau dalam segala hasil tanahmu dan dalam segala usahamu, sehingga engkau dapat bersukaria dengan sungguh-sungguh. (Ulangan 16)
Minggu ini bertepatan dengan hari Raya Imlek dan mungkin sebagian besar dari kita merayakannya. Perayaan yang ada dalam tatanan kehidupan manusia tidak muncul dengan sendirinya – selalu ada kisah di balik hari Raya tersebut, yang kemudian diterima oleh kita yang melibatkan diri di dalamnya. Ada sebuah tulisan tentang Imlek yang menyebutkan demikian: Imlek merupakan perayaan tahun baru yang disepakati oleh orang Tionghoa pada etnis masyarakat Cina. Pada umumnya Imlek merupakan peristiwa alam yang menunjukan perubahan cuaca dari musim dingin berganti menjadi musim semi. Perubahan cuaca tersebut dimanfaatkan oleh petani china untuk bercocok tanam, sehingga petani dapat memiliki nilai ekonomi dari perubahan cuaca tersebut. Perayaan Imlek ini dilakukan setiap satu tahun sekali oleh orang Tionghoa, dalam bentuk rasa syukur kenikmatan yang diberikan oleh Sang Maha Kuasa. Awal adanya Imlek yaitu ketika para petani di Cina melakukan bentuk syukur atas hasil pertanian yang diberikan kepada mereka, lambat laun mereka menjadikan perayaan ini sebagai ritual yang dilakukan terus menerus oleh para petani, sehingga menjadi kebudayaan yang dilahirkan oleh budaya sekitar. Bila kita membandingkan peristiwa Imlek dengan bacaan kita hari ini, maka kita seolah dibawa kepada alasan yang mirip/ sama yakni hari Raya yang sifatnya WAJIB bagi laki Yahudi untuk ikut serta di dalamnya. Hari Raya terkait dengan berkat TUHAN melalui hasil tanah mereka. Hal ini juga dicatatkan dalam Keluaran 23:16 – Kau peliharalah juga hari raya menuai, yakni menuai buah bungaran dari hasil usahamu menabur di ladang; demikian juga hari raya pengumpulan hasil pada akhir tahun, apabila engkau mengumpulkan hasil usahamu dari ladang. Mungkin kita masih dapat mencari informasi dan akhirnya menemukan perayaan serupa dalam tatanan kehidupan manusia yang terkait dengan budaya, tradisi bahkan keyakinan mereka masing. Setidaknya ada kebenaran universal yang mau tidak mau harus diterima, apalagi kalau kita menerima konsep Wahyu Umum dan Anugerah Umum Allah (Common Grace) – yakni Allah yang memberkati manusia dalam kehidupan & usahanya (khususnya terkait hasil ladangnya), dan manusia berespon dengan ucapan syukurnya kepada TUHAN. Perenungan bagi kita, apakah hal ini relevan bagi kita yang bukan petani, yang kehidupan pekerjaan dan usaha kita tidak terkait dengan sawah, ladang dan berbagai hasil panen? Jawabannya ada dalam perspektif kita tetang bagaimana kita menyikapi dunia kerja dan setiap berkat yang kita terima, apakah itu kita yakini sebagai berkat TUHAN, atau karena kehebatan & kekuatan diri sendiri. Tuhan melimpahkan hikmat-Nya bagi kita untuk mengerti. -JP
Bacaan Alkitab
Kejadian 44–45
Matius 23
Mazmur 21
Amsal 4:11-13