?Engkau tidak boleh mempersembahkan korban Paskah di salah satu tempat yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu. ?Tetapi di tempat yang akan dipilih TUHAN, Allahmu, untuk membuat nama-Nya diam di sana, engkau harus mempersembahkan korban Paskah itu pada waktu senja, ketika matahari terbenam, bertepatan dengan saat engkau keluar dari Mesir. ?Kemudian haruslah engkau merayakan hari raya Tujuh Minggu bagi TUHAN, Allahmu, sekedar persembahan sukarela yang akan kauberikan, sesuai dengan berkat yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu. ?Tiga kali setahun setiap orang laki-laki di antaramu harus menghadap hadirat TUHAN, Allahmu, ke tempat yang akan dipilih-Nya, yakni pada hari raya Roti Tidak Beragi, pada hari raya Tujuh Minggu dan pada hari raya Pondok Daun. Janganlah ia menghadap hadirat TUHAN dengan tangan hampa, ?tetapi masing-masing dengan sekedar persembahan, sesuai dengan berkat yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu.” (Ulangan 16)
Ada sebuah komentar yang rada sinis berkenaan dengan gereja yang selalu mengadakan persembahan untuk semua acara yang dilakukan. Dalih mereka, bila kita menghadap TUHAN maka kita harus membawa persembahan. Komentar sinis tersebut menimpali nampaknya hampir tidak ada perbedaan antara membawa persembahan di hadapan TUHAN dengan gereja berorientasi uang yang dikemas dalam bentuk persembahan.
Namun bila kita menyimak bacaan kita yang berasal dari 1 (satu) perikop yang sama, yang mengedepankan tentang 3 (tiga) hari Raya yang sifatnya wajib diadakan dan harus diikuti oleh laki Yahudi ini membicarakan hal yang sama tentang persembahan. Matthew Henry mencoba memahami Keluaran 23:15 – Mereka tidak boleh menghadap ke hadirat Allah dengan tangan hampa. Suatu persembahan sukarela haruslah mereka bawa, sebagai tanda hormat dan rasa syukur mereka terhadap Pemberi mereka yang agung. Implikasinya, sama seperti mereka tidak diizinkan datang dengan tangan hampa, demikian pula kita tidak boleh datang menyembah Allah dengan hati yang hampa. Jiwa kita harus dipenuhi dengan rasa syukur, dengan perasaan yang saleh dan penuh ibadah, dengan keinginan yang kudus terhadap-Nya, dan dengan pengabdian diri kita kepada-Nya, sebab korban/ persembahan yang demikianlah yang berkenan kepada Allah.
Bila kita kembali menyimak apa yang dituliskan dalam bacaan kita hari ini, maka setidaknya kita melihat fungsi persembahan yang kita bawa di hadapan TUHAN adalah untuk mengingatkan kita kepada peristiwa yang penting, yang sekaligus menjadi ucapan syukur terhadap apa yang TUHAN sudah lakukan kepada kita.
Yang menjadi perenungan bagi kita, perayaan apa saja yang kita rasakan? Apakah itu mengingatkan kita kepada peristiwa yang kita anggap penting? Apakah hal itu selalu berkaitan dengan berkat-Nya? Sudahkah kita menaikkan syukur, bahkan membawa persembahan kita kepada-Nya sebagai wujud terima kasih dan syukur kita kepada TUHAN? -JP
Bacaan Alkitab
Kejadian 48–49
Matius 25
Mazmur 22:22-31
Amsal 4:20-27