Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah. (Maz. 51:19)
Alkitab seringkali menggunakan kata hati dan kata jiwa secara bersamaan. Meskipun kedua kata ini terlihat berbeda, tetapi sebenarnya para penulis Alkitab memakainya sebagai sebuah sinonim. Kedua kata ini biasanya dipakai untuk menunjuk pada hal yang sama, yaitu sumber segala perasaan pada diri manusia.
Alkitab memang banyak mengatakan perintah dan larangan. Apalagi kalau kita melihat Perjanjian Lama khususnya kitab Imamat. Namun sesungguhnya firman Allah yang diwahyukan tersebut tidak dimaksudkan hanya sebatas benar dan salah saja. Allah memberikan firman kepada manusia bukan hanya sebatas agar manusia mengetahui apa yang boleh dan tidak, tetapi Allah ingin ada hubungan yang lebih dari itu, yaitu hubungan relasional antara Allah dan manusia. Allah ingin hubungan yang rusak oleh dosa itu terjalin kembali melalui firman Allah. Allah ingin manusia dapat kembali tinggal bersama-Nya.
Firman Allah yang kita baca di atas bukan artinya kita harus selalu datang kepada Allah dengan hati yang penuh penyesalan dan kesedihan, tetapi firman Allah tersebut menyatakan bahwa Allah akan mengasihi mereka yang mau merendahkan hati di hadapan Allah. Hal yang sama yang digaungkan juga oleh Yesus dalam Markus 12:30 ketika Ia mengatakan frasa segenap hati. Artinya Allah ingin penyembahan dan kasih yang diberikan manusia kepada Allah juga merupakan sebuah tindakan yang berasal dari hati. Sebuah perilaku yang bermula dari kerendahatian akan kesadaran Allah yang mengasihi. Mari kita renungkan kapan terakhir kali kita memiliki hati untuk beribadah kepada Allah? Kapan terakhir kali kita memiliki hati untuk mengasihi Allah bukan karena kebiasaan atau paksaan? Jika kita mengingat bahwa Yesus telah mengasihi kita terlebih dahulu, apakah kita juga mau menerima kasih itu dan hidup mengasihi Allah dengan segenap hati?
-EES
Bacaan Alkitab
Keluaran 12-13
Markus 2
Mazmur 29
Amsal 6:12-15