Lukas 15: ¹⁷Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. ¹⁸Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, ¹⁹aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa. ²⁰Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia. ²¹Kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa.
Bacaan Alkitab:
2 Raja-raja 24-25
1 Tesalonika 2
Kidung Agung 6
Amsal 18:1
Renungan
Mungkin kita pernah mendengar orang berkata (atau mungkin kita sendiri): “Saya akan ampuni kalau dia mau minta maaf!” atau “Saya akan mengaku salah dan minta maaf kalau dia mau buka pintu rumahnya”. Yang jelas dan pasti, sebuah relasi tidak akan pernah terjalin dan terjadi bila hanya dijadikan sebuah angan² saja. Relasi tidak akan tersambung lagi jika hanya diisi dengan kata² kalau begini kalau begitu atau saya akan begini & begitu. Relasi harus diwujudkan dengan sebuah tindakan yang dengan sengaja dilakukan.
Ayat 20 menjadi ayat yang penting karena di dalamnya terdapat peralihan fase yang sangat penting, dari sebuah fase yang berjualan angan² atau keinginan menjadi fase tindakan untuk merealisasikan keinginannya yakni bertemu, menjumpai ayahnya dan berkata seperti “latihan” sebelumnya. Hal yang perlu kita renungkan, apakah semudah itu ia melakukannya, merealisasikan?
Si bungsu harus berani menghadapi kenyataan dan mengakuinya di hadapan ayahnya bahwa ia sudah sangat berdosa kepada TUHAN (Sorga) dan kepada bapanya. Ia datang bukan sekedar dengan rasa malu saja, tetapi dengan ketiadaan harga diri sehingga ia mengatakan tidak layak lagi disebut sebagai seorang anak. Apalagi kalau ia membandingkan dengan sikapnya di masa lalu, yang mungkin dengan lantang meminta HAK-nya kepada sang bapa – yang mungkin saja sudah berusaha untuk menyadarkan anaknya namun tak pernah didengarnya. Sekarang, dengan me-mohon² – mungkin juga dengan ter-bata² harus berkata kepada bapanya.
Semua itu dilakukan agar relasi yang telah tertutup dan hilang itu kembali pulih, sekalipun harapannya dalam relasi antara tuan & orang upahan – tidak muluk² dalam relasi bapa & anak. Relasi yang diinginkan itu akhirnya direalisasikan, tidak tinggal sebagai ilusi semata. Apakah kita akan melakukan hal yang sama?